Setelah Dia (Faksi Story)

For More Click  Hijrah Walker

Hilda Hr

Aku Hera. Perempuan biasa yang sedang masuk dalam sebuah fase baru kehidupan. Sebuah fase penyesuaian setelah taarufnya berakhir. Ini malam yang entah ke berapa kalinya aku disambut dengan kecewa. Kenapa Allah menguji aku lewat jodoh? Karena pada akhirnya siapa pun akan menyerah menghadapi situasi seperti ini. Dia adalah laki-laki yang semakin kesini semakin aku tidak mengerti lagi tentang dia. Tidak lagi menjadi calon pendamping hidup setelah hampir kita akan menikah. Kehidupan aku berubah drastis. Dia tidak lagi menjadi laki-laki yang terbuka dan jujur dengan apa yang dia rasakan. Kalaupun ada ketidakcocokan, bukankah semua bisa dikomunikasikan?. Tapi kali ini menjadi sebuah persoalan besar dan dia memilih pergi.

Dia Mudia, laki-laki yang sudah membuat hati ini merasa sakit. Dia laki-laki yang sulit ditebak. Laki-laki yang memang aku harapkan karena sesuai dengan kriteriaku. Laki-laki yang kupinta dalam doa. Ah … tuh kan, dimana-mana hati ini butuh kejujuran. Cape kali munafik, egois, bingung, marah, sedih, kecewa semua bercampur menjadi satu dan ini semua sulit. Tapi ini bukanlah akhir dari kehidupanku. Bersyukur karena masih ada iman dalam diri ini sehingga aku tetap bisa menjalani aktivitas.

“Ssstt … lagi mikirin apa siy qo bengong gitu?” Tanya Dini teman sekantorku. “Nggak, nggak mikirin apa-apa” jawabku. “Lagi galau?” lontar Dini. “Ngapain aku galau” sanggahku. “Tapi bener ya” sambung Dini. “Nggak ada apa-apa” sahutku.

Ya Allah … kalah nih aku sama keadaan. Susah emang aku berangkat jauh dari dia. Aku sadar diri aja, sadar dengan kapasitas aku. Aku tidak pernah cerita kepada siapa pun tentang persoalan yang sedang dihadapi. Tapi, ada aja teman yang bisa membaca gerak-gerikku, entah karena sedikit perubahan sikapku atau karena aku terlihat tidak fokus dengan amanah-amanahku. Lagi, tiba-tiba ada pesan masuk. “Ra, aman?” Tanya Teh Ratna. “Aman teh” jawabku. “Gimana PPT untuk besok?”. Belum … masih belum aku kerjakan itu power point untuk besok. Gumam dalam hati. “Besok Hera yang presentasi ya?”. “Iya, siap” jawabku. Ayo dong, fikiran ini gak bisa banget apa kerjasama sebentar aja. Sebentar. Mesti banget aku hubungi dia lagi?.

Ini adalah hal yang bodoh banget karena aku tidak bisa mengusir fikiran ini dari dia. Ajarin aku agar bisa kembali bergerak bebas. Tidak melulu tentang dia. Mestinya aku bisa berangkat jauh keluar dari keadaan ini. Cara satu-satunya untuk menghilangkan fikiran tentang dia memang harus mengikhlaskan dan jangan diberi tempat untuk aku kembali memikirkan dia. Dan mesti terlihat tidak mudah, aku harus belajar berangkat dari keadaan ini. Dia bisa dengan caranya sendiri, dan aku juga bisa dengan caraku.

Bukankah hidup adalah ujian. Ada banyak manusia yang menghadapi sakit dalam hidup. Tapi hanya sebagian yang terpancar dari wajah mereka. Aku yakin banyak orang yang sedang menghadapi persoalan jodoh seperti aku. Tapi entah berapa persen yang berhasil melupakan sakit yang mereka hadapi. Hei … Apakah kamu tahu? Ketika perempuan berusaha pergi dari laki-laki itu tidak gampang. Dan aku punya cara sendiri untuk menghadapinya, walaupun sakit. Setidaknya aku tidak akan mengucap “Saya menyesal”. Karena yang aku tahu, semua yang terjadi merupakan keputusan Allah.

Duhai Allah,

Air mata ini tidak pernah tumpah deras bercucuran

Air mata ini sedang mengungkap segala rasa yang kupendam

Duhai Allah, Ku bersimpuh pada-Mu

Ampuni diri yang zalim ini Ya Allah

Sadarkan, bahwa Engkaulah pemilik hati ini

Cukup Engkau sebagai penolong dan penguat

***

“Ambil pesan cinta-Nya” ungkap Teh Ratna. Hanya soal waktu, akhirnya aku mulai berani cerita ke Teh Ratna. Salah satu nikmat dari Allah saat aku berada di lingkaran pertemanan yang saling menguatkan dan mengingatkan. “Kenapa Allah memilihku?” tanyaku. “Karena Allah mencintai Hera, Allah memberi kedewasaan ketika masalah berdatangan. Allah melatih ketegaran dalam kesakitan. Sabarlah. Sertakan Allah dalam setiap langkah. Masih ingat dengan pesan itu?” jawab Teh Ratna. Aku pun terdiam. Pertama karena aku sedang berfikir apa yang disampaikan Teh Ratna. Kedua karena aku mencoba untuk memahami. Ketiga, segera aku harus move one. Jodoh, duh jodoh…! Wuih… buat sebagian orang mungkin itu hal yang biasa, bahkan teramat biasa. Tidak ada ceritanya orang itu telat menikah bukan? Karena Allah telah menulis pertemuan jodoh dengan sangat adil.

Segala sesuatu bisa jadi tidak seindah apa yang dibayangkan semula. Ada bunga-bunga indah, namun cukup banyak juga duri yang siap menghadang. Karena itu, berbagai masalah kehidupan termasuk jodoh harus dihadapi dengan realistis. Aku ikhlas Ya Rabb. Sudah tidak ingin kuingat kembali peristiwa yang pernah menusuk hati. Di keheningan malam, kini kuukir doa-doa dengan goresan harapan, khusyu’, berharap kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. “Ya Allah, jika Engkau mengizinkan dan meridai, jangan biarkan hamba hidup sendirian. Pertemukan hamba dengan seseorang yang tidak pernah melarang hamba berdakwah…” itu merupakan sebagian dari doaku setiap malamnya. Lagi, kupinta kembali padaNya.

Ya, yang aku tahu, hidup di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah. Di dunia yang luas ini aku percaya akan adanya keajaiban. Benar, janji Allah itu seindah pelangi. Muncul jika memang sudah menjadi kehendak-Nya. Walaupun butuh waktu untuk menunggunya, tetapi itu bukanlah masalah. Sebab Allah telah mengaturnya dengan sangat adil. Tiga bulan setelah dia pergi, Allah kirimkan laki-laki yang sekarang sudah sah menjadi suamiku. Cepat, mudah dan ringan, itulah proses yang kami jalani.

Dialah Alfega. Konon, Alfega ini adalah si Raja Online. Sahabat sejatinya handphone, tempat ia tiap hari online untuk mengurusi beberapa akun media sosial. Hmm ... di era yang serba online seperti saat ini, media sosial tidak hanya sebagai sarana komunikasi. Bisa sebagai sarana dakwah, bahkan tidak sedikit yang akhirnya bertemu dengan belahan jiwa. Termasuk aku. Hee… Nah, suatu hari Alfega mengomentari status whatsappku dan tiba-tiba mengirim pesan, "Bolehkah saya bertanya yang sifatnya pribadi?" tanya Alfega. "Ada apa, nih!" jawabku. "Sudah menikah Kak?" sambung Alfega. "Ini orang kok nanya begini" gumamku. Belum saja kujawab pesan sebelumnya, sederet pertanyaan pun terus masuk. Eh ... akhirnya Alfega bilang "Kakak menikah sama aku mau nggak?" Jleb! Aku terdiam, senyum tipis hihihi ... hatiku sedikit berbunga-bunga. Tapi, aku tetap colling down. "Silakan temui saja waliku." Tuturku. “Sebelum bertemu dengan keluarga, bolehkah kita bertemu dulu?” Tanya Alfega. “Boleh” jawabku.

Tidak ada rasa apapun, aku melihat ini dengan pandangan yang biasa saja. Kuingat kembali kapan dan bagaimana aku bisa sampai menyimpan nomor kontaknya. Setelah diingat, ternyata dua tahun lalu pernah berkomunikasi saat aku menjadi ketua salah satu komunitas. Akhirnya kita janji untuk ketemuan. Aku meminta untuk ketemu dirumah Teh Ria dan ia menyetujuinya. Sebelumnya aku meminta izin sama Teh Ria, “Teh, bolehkah aku meminta tolong?” tanyaku ke Teh Ria. “Kenapa De?” jawab Teh Ria. “Ada ikhwan yang ingin bertemu denganku, bolehkah kita bertemu dirumah Teteh?”. “Sangat boleh, sini bawa kerumah” jawab Teh Ria. Saat itu, aku bisa lebih menata hati. Menjalani setiap proses dengan tenang dan senang. Akhirnya kita ketemu dirumah Teh Ria ahad sore. Aku datang lebih dulu kerumah Teh Ria, kutunggu ia datang sambil terus beristigfar meminta ketenangan hati dan sesekali tersenyum tipis saat ditanya sama Teh Ria. “Deg-degan De?”. Tanya Teh Ria. “Biasa saja Teh”. Jawabku. Pukul 16.25 ia tak kunjung datang, padahal kita janjian bertemu pukul 16.00. Tidak lama mendengar suara handphone bergetar, ada pesan masuk ternyata. “Rumahnya yang mana ya?” Tanya Alfega. “Warna biru” jawabku. Kudengar suara langkah kaki dari luar menuju kearah pintu masuk, dan “Assalamu’alaikum” serunya seraya mengetuk pintu. “Wa’alaikumsalam” jawab Teh Ria dan anak-anaknya. Aku pun menjawab didalam hati, “Wa’alaikumsalam”. “Silakan masuk kang” sahut Teh Ria.

Jika ditanya bagaimana respon aku saat pertama kali bertemu dengannya, biasa aja sih. Tidak ada yang spesial atau bagaimana. Kukatakan pertemuan itu biasa saja. Teh Ria yang banyak bicara, dan aku lebih banyak diam sambil mengamati. Obrolan pun mengarah ke hal-hal yang sifatnya pribadi dan jauh ke depan. Menanyakan tentang keseriusan ia dan langkah ke depan seperti apa. Aku terpana melihat bagaimana Teh Ria membawa arah pembicaraan begitu jelas dan singkat. Apa yang aku fikirkan sudah diwakilkan oleh Teh Ria. Obrolan pun diakhiri karena sudah masuk waktu shalat magrib. Alhamdulillah, terus kuucap syukur karena pertemuan berjalan dengan lancar, dan yang terpenting Allah telah memberi aku ketenangan. Kadang, dari hati ini bisa muncul hasrat yang cenderung pada nafsu, karena itu dari awal aku menjaga sikap dan rasa.

***

Tiga hari setelah pertemuan aku dengannya, ada pesan masuk dari Alfega “Salam, bagaimana keputusannya?”. Entahlah … Entah apa alasannya aku cukup lama untuk membalas pesan darinya. Padahal istikharah telah aku lakukan, jawaban pun sudah aku dapatkan. Sekali lagi, mungkin karena aku tidak mau terburu-buru mengatakan ‘iya’. Berbeda… ! Bukankah itu hal yang biasa? Keragaman dalam sebuah pernikahan semestinya menjadi sumber kreativitas bukan? Dengannya aku bisa membangun samudra kebaikan. Aku jadikan perbedaan sebagai kekuatan. Puncaknya adalah sebuah tim yang solid hingga bersama menjadi pasangan yang penuh dengan rahmat Allah Swt. Terus kupertimbangkan hal-hal yang mungkin akan terjadi. Satu hal yang membuat aku yakin adalah bukankah ini yang aku inginkan? Bukankah ini yang aku minta? Lalu, kenapa banyak pertimbangan yang seharusnya tidak menjadi prioritas?. “Bismillah, insyaAllah saya lanjut” jawabku. “Alhamdulillah, hari kamis saya akan datang kerumah menemui Bapak” sahut Alfega. Secepat itukah? Tanyaku dalam hati. “Iya, saya tunggu” jawabku.

“Mah, ada yang mau kerumah nanti siang” ungkapku. “Siapa?” Tanya Mamah. “Ada yang mau ketemu sama Bapak” bisikku. “Alhamdulillah, Sok aja” sambung Mamah. Ada rasa takut saat aku bicara seperti itu sama Mamah. Aku bisa menjaga perasaan dan hati, tapi Mamah? Mendengar ada laki-laki yang mau datang kerumah senengnya luar biasa. Tak henti aku terus berdoa sama Allah, meminta kebaikan demi kebaikan. Kabar akan ada laki-laki yang mau datang kerumah pun sudah tersebar ke keluarga besar. Haduh … memang keluarga besar berkumpul di lingkungan rumahku. Tidak bisa disembunyikan. Mereka sudah berjajar menunggu kedatangan Alfega kerumah. Ia berjalan memasuki gang rumah yang sudah dipenuhi dengan keluarga besarku. Sambil berjalan ia menyapa setiap orang yang dilewatinya. Hingga akhirnya sampai ke depan rumah dan bertemu dengan Bapak, “Assalamu’alaikum Pak” ucap Alfega sambil mengulurkan tangan ke Bapak. “Silakan masuk” jawab Bapak. Ah…! Memang ia orangnya to the poin, tanpa basa-basi ia langsung bicara sama Bapak, “Pak, saya ada niat baik sama Hera. Saya ingin menikah sama Hera” ungkap Alfega. “Kapan rencana pernikahannya?” Tanya Bapak. “Akhir tahun ini” jawab Alfega. Secepat inikah obrolan ini berakhir, ia yang tidak berlama-lama dan bapak yang dengan cepat merestui. MasyaAllah.

Kebesaran Allah Swt pun selalu tampak untuk orang-orang yang meyakini akan janji-Nya dan benar, kemudahan demi kemudahan aku dapatkan dalam proses khitbah hingga menikah. Seluruh anggota keluarga menerimanya dengan baik. Bukan hanya orangtua, keluarga besar pun menyambut dan menerimanya. Ya Allah, inilah ia… surga yang disegerakan sebelum surga yang kekal abadi. Ringan. Sejak awal ia selalu mengatakan bahwa menikah itu ringan. Kenapa harus menjadi orang yang ringan? Karena menjalani bahtera rumah tangga itu sungguh sukar dan terjal. Silaunya mata terhadap target kesuksesan materi, tanpa sadar membuat kita menjadi orang yang berat, apalagi jika nafsu yang menjadi kacamata. Walhasil langkah untuk menikah kian berat. Kita menikah untuk bersama-sama saling menguatkan langkah dalam dakwah. Kita menikah untuk bersama-sama meraih rida-Nya. Aku selalu ingat pesan itu. Pesan yang sejak awal selalu ia katakan agar kita selalu menjadi orang yang ringan.

Aku berjalan menuju masjid ditemani Teh Ratna, duduk di ruangan khusus akhwat. Di depan, banyak sekali orang yang akan menyaksikan akad pernikahan. Sejak pagi aku berusaha untuk menenangkan diri. Terus beristigfar meminta ampunan dan pertolongan dari-Nya. “Ini adalah waktu yang sangat mendebarkan, terus berdoa sama Allah” ucap Teh Ratna. “Iya teh, doakan aku selalu” bisikku. “Saya terima nikah dan kawinnya … “ ucap Alfega. “Sah” Tanya Pak Amil ke para saksi. “Sah” seru para saksi di dalam masjid. “Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah” ucapku dalam hati. Tak terasa airmata menetes. Indah … Sungguh teramat indah setiap rencana dan ciptaan-Mu duhai Allah. Engkau berikan amanah istimewa hanya kepada hamba-Mu yang istimewa pula, dari kejadian yang telah dialami aku rengkuh seribu hikmah. Sabtu, 12 Desember 2020 menjadi hari yang bukan hanya unik, dihari itu kupinta banyak doa dari orang tua, saudara, keluarga, kerabat dan teman-teman shalih. Terus kupinta doa dari mereka. “Tolong selalu doakan aku” ucapku ke setiap orang yang datang. Terima kasih atas kesempatan untuk aku bisa menorehkan sepenggal kisah perjalanan khitbah hingga menikah. Tak lupa aku meminta doa dari ikhwah fillah semua untuk keluarga kami. Jangan berhenti berharap karena Allah lebih tahu saat yang tepat mengabulkan permintaan kita.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Muwashofat (Keperibadian) Muslim | Hasan Al-Bana

Dakwah

Sendiri Aku Tahu